Top Navigation Example 3.0

Sejarah Singkat Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah

Sejarah Singkat Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah

Sejarah Singkat Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah

user image berita 2021-11-01 12:08:56

1.1 Silsilah Beliau

Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah merupakan cucu dari Sultan Alaidin Mansursyah yang berkuasa sejak 1857-1879 M. Bila ditulis lengkap silsilah beliau (Sultan Muhammad Daudsyah) maka akan tampak sebagai berikut :

Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah (Sultan Aceh Ke-35)

Bin

Tuanku Cut Zainal AbidinBinSultan Alaidin Mansyursyah (Sultan Aceh Ke-33)

Bin

Sultan Alaidin Jauhar Alamsyah (Sultan Aceh Ke-29)

Bin

Sultan Alaidin Muhammadsyah Marhum Geudong (Sultan Aceh Ke-28)
 
1.2 Usia 10 Tahun Didaulat Menjadi Sultan

Alkisah pasca mendaratnya pasukan belanda dipantai Ulee-Lheu 26 Maret 1873 (agresi ke 1), Belanda mengeluarkan maklumat perang dengan Aceh setelah Kerajaan Aceh tidak bersedia tunduk kepada Belanda. Kerajaan Aceh juga menolak melepaskan Kedaulatannya Di Selat Malaka yang mana pada saat itu Kerajaan Aceh dipimpin Sulthan Alaiddin Mahmud Syah dan Penglima tertingginya Jendral Tuanku Hasyim Bangta Muda. Adapun Jawaban Sulthan Alaiddin Mahmud Syah terhadap ultimatum dari Belanda:

“Mengenai permintaan saudara suapaya kami menyerahkan untuk Belanda semua wilayah Kerajaan Aceh dipulau Sumatera, dari selatan sampai ke Bengkulen dan dari barat sampai ke Riau dan Pulaupulau Riau, ini tidak kami lakukan tanpa musyawarah dengan anak negeri daerah itu, karena anak negeri daerah itu merupakan rakyat kami dan kami disana bukan sebagai penjajah. Dan rakyat disana berhak mempunyai pilihan sendiri, untuk kehidupan masa depannya. Tegas kami katakan, kami tidak akan menyerahkan mereka – mereka itu untuk menjadi jajahan Belanda”

Maklumat perang tersebut disampaikan oleh JF Nieuwenhuijzen, yang menjabat Komisaris Pemerintah Belanda, dari atas Kapal Citadel Van Antwerpen diiringi kapal perang Marnix, Coehorn, dan Siak. Armada Belanda itu berlabuh dipantai Cermin, Ulee Lheue, Banda Aceh. Bersamaan dengan itu mereka telah menyiapkan pula senjata biologis mematikan yaitu wabah kolera. Wabah inilah yang diatur dalam strategi licik para jendral Belanda untuk menjangkiti masyarakat Aceh disekitar area pendaratan hingga ke wilayah Mesjid Raya dan dalam Istana sultan (Kawasan keraton sekarang). Dan tragisnya sultan pada saat itu Sultan Mahmudsyah menjadi salah satu korbannya,
setelah berusaha mempertahankan dalam (istana) tepat pada tanggal 28 januari 1874 Sultan Mahmudsyah mangkat didaerah Pagar Aye (Lueng Bata) dan jenazahnya dibawa lari ke Kawasan Samahani dan dimakamkan disana. Dahsyatnya efek wabah kolera ini sebagaimana diceritakan oleh Panglima Tibang waktu itu menyebabkan lebih dari 150 jiwa setiap hari tewas dikawasan dalam (istana).

Dalam lain hal bagian yang penting dari segi politiknya, yang diselenggarakan dengan cepat oleh Pihak Aceh pasca mangkatnya Sultan Mahmudsyah adalah mengganti sultan yang sudah meninggal. Para Panglima Sagi yaitu Panglima Polim dari XXII Mukim, Cut Lamreueng dari XXVI Mukim dan Cut Banta dari XXV Mukim telah bulat mufakat memilih seorang yang masih berumur sekitar 10 tahun naik takhta, yaitu Tuanku Muhammad Daudsyah dengan pengakuan Dewan Mangkubumi yang diketahui oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda sebagai ketua didalam dewan Pemangku ini, ia berwenang bertindak atas nama Sultan. Selanjutnya dengan didampingi oleh Dewan Mangkubumi ini Sultan terus bergerilya mengikuti perjuangan, hingga beliau mencapai usia akil baligh.

Pada saat itu tahun 1878 sultan mulai dilibatkan dalam kendali kepemimpinan dengan tetap didampingi para Dewan Kesulthanan yang diketahui oleh Tuanku Hasyim Bangta Muda. Penabalan Tuanku Muhammad Daudsyah sebagai Sultan Aceh dilakukan dalam sebuah upacara kerajaan di masjid indrapuri. Berikutnya pasca penabalan sebagai sultan beliau langsung memperoleh Pendidikan untuk keterampilan pemerintahan dan perang dari Jendral Tertinggi Angkatan Perang Aceh yang juga Wali beliau yaitu Tuanku Hasyim Bangta Muda. Pada saat yang bersamaan juga dilantik tokoh tingkat atas yaitu : Teuku Panglima Polem, Teuku Imum Leung Bata, Panglima Nya’ Makam menjadi Panglima Urusan Aceh Timur, Tuanku Mahmud Bangta Keuchik, Tengku Di Sayyid Abdullah Di Meulek dan Teuku Ibrahim Lamnga (suami pertama Cut Nyak Dien) dll.

Tepatnya Keumala dalam, inilah ibukota Saat ini, beliau mengomandoi perjuangan dari titik tengah ini, beliau mengomandoi perjuangan dari titik tengah ini, mulai dari wilayah 3 sagi di Aceh Besar, Pidie, Samalanga, Alas – Gayo, Pasai hingga Kekawasan Pantai Timur Aceh terus dibangun konsolidasi.

1.3 Keumala, Ibukota Aceh yang Baru Selama 20 Tahun

Ketika Montasik (Aceh Besar) jatuh ditahun 1878 dan terasalah bahayanya Kawasan Indrapuri. Segeralah dipilih pula calon pusat Pemerintah Baru. Kali ini dipilihlah Pekan Keumala, dan di awal 1979 Sultan Muhammad Daudsyah, Tuanku Hasyim (Bersama Putranya Tuanku Raja Keumala) dan Panglima Polem (Bersama Putranya Teuku Raja Kuala) sudah berada disana menggerakkan aparatur Pemerintahan, Selain itu beberapa tokoh penting lainnya yang sudah berada disana Teuku Paya (Ketua bekas Panitia delapan di Penang), Putranya Teuku Asan, Teuku Imuem Lueng Bata dan putranya Teuku Usen.

Dengan terbangunnya Ibukota di Keumala Dalam, maka Kawasan ini bertambah ramai. Musyawarah yang acap dilakukan di Keumala Dalam menghasilkan kelancaran pemerintahan. Dari segala penjuru Aceh datang Kepala-kepala atau Ulee Balang meminta tugas, mengantar hasil dan meminta keabsahan tugas dan pekerjaan melalui Cap Sikureung dari Sulthan Aceh. Cap ini diperlukan oleh para Ulee Balang, Imam, Keuchik, dan sekalian pegawai untuk menegaskan bahwa mereka memang pegawai Kesulthanan Aceh, Bukan Belanda.

1.4 Sikap Van Heutz Menghadapi Sultan

Sultan membuat pertahanan (Benteng) di samalanga dalam tahun 1900, Van Heutz berusaha keras untuk menundukkannya, namun Sultan berhasil lolos ke wilayah Peudada, dan selanjutnya ke Peusangan dan Van Heutz masih terus mengejarnya hingga Sultan memilih pusat pertahanan yang lebih terjamin yaitu Tanah Gayo (September 1901). Disini para kejruen (raja-raja kecil disekitar ini) memberikan dukungan sepenuhnya kepada Sulthan. Ketika mayor Belanda, van Daalen atas perintah Van Heutz memimpin serangan dengan 12 brigade ke gayo yang memakan tempo dari bulan September hingga akhir November 1901 ia kembali gagal mematahkan perlawanan Sultan. Juga Kolonel Scheepena gagal menghadapinya, hingga sultan kembali ke Pidie. Terpaksalah Belanda menggunakan cara yang licik dan kotor (pecundang), mereka membuat strategi yang curang dengan menculik permaisuri Sultan yaitu Tengku Putroe Gamba Gadeng (26 November 1902) melalui Letnan Muda Chritoffel (tentunya atas pemerintah Van Heutz) dengan didahului penyerangan terhadap markas Sultan di Hulu Pante Raja, Pidie dipimpin oleh Kapten Belanda Kramers. Setelah gagal menemukan Sultan Letnan Christoffel menculik permaisurinya, namun sultan tidak gentar dan terus memberikan perlawanan. Kemudian sekitar 25 Desember 1902, pasukan Belanda atas perintah Van Heutz dibawah pimpinan Mayor Van Der Maaten mencari seorang lagi Permaisuri Sultan dan menculiknya yaitu Pocut Murong dan sekaligus Putra Mahkota Tuanku Raja Ibrahim. Dan berarti Van Heutz telah sukses menculik dan menyandera 2 permaisuri dan 1 Putra Mahkota, kalau saat ini mungkin inilah yang disebut sebuah tindakan Terorisme dan jauh dari sikap suatu bangsa yang beradab. Dan Sultan dipaksa turun menghadap Pimpinan Belanda untuk menyerahkan Kedaulatan Aceh kepada mereka, tepatnya 10 Januari 1903 setelah bermusyawarah dengan para Dewan Kesulthanan, Sultan menghadap pimpinan Belanda di Sigli melalui Van Der Maaten. Beliau dibujuk untuk menandatangani surat penyerahan Kedaulatan Aceh kepada Belanda, Namun Beliau merobek dan melemparkan surat tersebut ke Van Heuts ini dikarenakan Sultan memliki tekad “LEBIH BAIK AKU MATI BERKALANG NYAWA DARI PADA AKU SERAHKAN NEGERI ACEH KEPADA PENJAJAH BELANDA”, hingga beliau dibawa ke Banda Aceh dan ditahan dalam sebuah rumah khusus dikawasan Keudah, dari balik tahanan Rumah di Kawasan Keudah, Banda Aceh, Sultan masih mengatur strategi penyerangan terhadap markas-markas Belanda di Kutaraja, dan Sultan Beusaha memohon bantuan pasukan dari Kaisar Jepang untuk mengusir Belanda dari Aceh dalam sebuah surat yang dikirimkan melalui perwakilan (kedutaan Jepang) di Singapore, dan akhirnya diketahui Spionase Belanda hingga membuat Van Heutz Berang dan memutuskan bahwa Sultan harus di “Externiring” keluar Aceh Bersama keluarganya. Tepatnya Ambon sebagai tempat pembuangan Sultan, disana pun beliau masih dihormati oleh Raja di Ambon dan sempat mendakwahkan Islam disana hingga mengislamkan beberapa Raja disana yang hari ni mereka masih mengenang peristiwa tersebut. Demikianlah akhir perjuangan Gerilya Sultan selama lebih kurang 26 tahun dengan berpindah-pindah Istana atau Benteng Pertahanan demi mempertahakan harkat dan martabat bangsanya dari penindasan Bangsa Belanda. Walaupun sulthan telah dibuang dari tanah aceh, peperangan masih tetap berlanjut dengan dipimpin oleh para ulama, keluarga sulthan dan rakyat aceh sehingga total peperangan Aceh selama 69 tahun untuk mengusir penjajah belanda dari tanah rencong.

1.5 Diasingkan ke Ambon

Pada saat Sultan Muhammad Daudsyah diasingkan ke Ambon beliau juga sempat di sambut baik oleh keluarga Raja Samu- samu yang ada di Ambon pada masa itu, dimana pada mulanya Belanda tidak menjelaskan siapa tahanan dari Aceh tsb, hingga pada suatu hari disaat Sultan sedang melantunkan Ayat Suci Alquran dengan suara yang merdu tiba-tiba Keluarga Samu-samu yang Nasrani pada saat itu tertarik mendengar irama bacaan tsb dan menanyakan kepada tahanan tsb (Sultan), Lagu apa gerangan yang sedang dinyanyikan, kemudian Sultan dengan bijak dan sederhana menjawab, inilah suatu baca yang akan menenangkan hati dan membawa kebahagiaan, kemudian keluarga Samu-samu tersebut diajak oleh Sultan untuk mengikuti suatu bacaan dengan bimbingan sultan yaitu kalimah “LAAILAHAILALLAH”, seterusnya diikuti oleh keluarga Samu-samu lainnya hingga Raja Samu-samu sendiri, maka islamlah keluarga Raja Samu-samu lainnya hingga Raja Samu-samu sendiri hingga sampai saat ini. Namun tindakan ini tentunya bukan tanpa reaksi dari pihak Belanda saat itu, sebab tindakan Sultan tersebut memicu kemarahan Pihak Belanda hingga Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah dibuang lagi ke Batavia. Baginda Sulthan mangkat pada 6 Februari 1939 di Batavia dan dimakamkan di TPU Kemiri Utan Kayu Rawamangun, Jakarta timur Saat ini. Jauh dari Rakyat dan tanah indatunya, demi mempertahankan martabat Aceh dari Jatuhnya Kedaulatan dibawah Kerajaan Belanda. Sehingga ini salah satu sebab Aceh disebut daerah Modal dimana pada saat Konferensi Meja Bundar dilakukan di Den Haag, Belanda pada tahun 1949 Inggris menyatakan yang mana Kawasan Nusantara yang masih bebas dari penaklukan Belanda, dan tersebutlah Aceh yang masih berdiri tegak karena belum pernah terjadi penyerahan kedaulatan Aceh Kepada Belanda. Dan semua peserta Konferensi Setuju dan mengakui Indonesia menjadi sebuah Negara Merdeka dan Inilah buah hasil perjuangan SULTAN ALAIDIN MUHAMMAD DAUDSYAH DZILALLAHUFILA’ALAM.

Referensi Sejarah Singkat Sultan:

  1. Jenderal Besar Tuwanku Hasyim Bangta Muda ( pengarang Tgk Langkaruna Putra)
  2. Sultan Muhammad Daud Syah (Pengarang Aliansi Aceh)
  3. Aceh sepanjang abad (pengarang H.M Said)
  4. De Atjeh Oorlog (Perang Kolonial di Aceh) , (pengarang Paul Van Veer)
  5. Ungkapan Sejarah Aceh (pengarang Dada Meraksa)
  6. Mesjid Kami dijadikan Benteng (Pengarang Yusuf A. Puar)
  7. Wawancara perwakilan ahli waris
  8. Wawancara perwakilan mapesa
  9. Serambiwiki/Tribunnews Fikar W Eda
  10. Kronologis Para Sultan Aceh, Balai Pelestarian Nilai Budaya Aceh (2016)
  11. Sejarah Kerajaan di Aceh, https://kemdikbud.go.id/bpcbaceh/sejarah-kerajaan-di-aceh

-

view -
comments -
like -